Pendidikan Inklusi; Masih Setengah Hati

Selasa, 31 Juli 2012

Oleh: Agus Thohir
(Direktur Lingkar Studi Alternatif Jakarta)

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.

Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Inklusi, solusi atau masalah
Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Ditegaskan dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.

Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan anak berkelainan atau berkebutuhan khusus dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Tujuannya adalah tidak ada kesenjangan di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Diharapkan pula anak dengan kebutuan khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu anak yang berkebutuhan khusus perlu diberkan kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di jenjang pendidikan yang ada.

Namun untuk masa sekarang, jenjang pendidikan yang disiapkan untuk menerapkan kebijakan sekolah inklusi ini adalah pendidikan sekolah dasar (SD). Dan pendidikan inklusi pada jenjang sekolah dasar diharapkan mampu untuk memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan.



Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan solusi pemberian pelayanan pendidikan yang diberikan kepada seluruh anak-anak. Perlu adanya partisipasi masyarakat dan kerjasama yang sinkron antara orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat.

Sekolah Inklusi, Alternatif Lain SLB
“Mereka yang terkucil dari pendidikan sering kali tidak terlihat; jika terlihat, mereka tidak diperhitungkan, jika diperhitungkan, mereka tidaklah dilayani. Pendidikan Inklusif sebenarnya berarti membuat yang tidak tampak menjadi tampak dan memastikan semua siswa mendapatkan hak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik”

Demikian diungkapkan Direktur UNESCO’s PROAP, Bangkok Sheldon Shaeffer. Dia mencoba meningkatkan dan memperluas jaringan pemberdayaan pendidikan terutama mengarah pada penyetaraan di bidang pendidikan yaitu ”Konsep Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education For All (EFA)”. Sangatlah penting untuk disadari bahwa keragaman di antara manusia adalah normal dan demikian juga berbagai kategori orang dalam kecacatan berbeda. Seorang guru bisa saja mempunyai dua murid tunanetra yang membutuhkan pendekatan pembelajaran yang sangat berbeda karena keragaman itu normal baik diantara orang-orang yang tanpa dan yang memiliki kecacatan.

Pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung (cacat) sangat penting dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial. Meskipun di Indonesia pendidikan merupakan suatu kewajiban bagi semua anak berusia 7-15 tahun, tanpa kecuali, namun anak-anak yang kurang beruntung dan yang memiliki kebutuhan khusus secara tidak resmi mendapat pengecualian. Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Mainstream, Integrasi & Inklusi
Mainstreaming, integrasi, dan inklusi merupakan penjabaran situasi dimana anak berkelainan / dengan kecacatan diperbolehkan belajar bersama dengan teman sebayanya tanpa kecacatan dengan anggapan mereka dapat menyesuaikan kepada sistem mainstream dan peraturannya (mainstreaming/integrasi). Hanya inklusi mencerminkan hak asasi manusia dan isu keadilan sosial dari pendidikan eksklusif mungkin akibat kebijakan dan praktek yang kaku dalam sistem pendidikan mainstream.

Mainstream adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-anak cacat di sekolah-sekolah umum, hanya jika mereka mengikuti kurikulum akademis yang berlaku, dan guru juga tidak harus melakukan adaptasi kurikulum. Mainstream kebanyakan diselenggarakan untuk anak yang sakit yang tidak berdampak pada kemampuan kognitif, seperti epilepsi, asma dan anak-anak dengan kecacatan (dengan fasilitas peralatan, seperti alat bantu dengar dan buku-buku Braille) dan juga mereka yang memiliki tunadaksa.

Integrasi berarti menempatkan siswa yang berkelainan dalam kelas dengan teman-teman sebaya mereka yang tidak memiliki kecacatan. Sering terjadi di sekolah integrasi dimana anak-anak hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya, dan untuk kebanyakan mata pelajaran akademis, anak-anak ini menerima pelajaran pengganti di kelas berbeda, terpisah dari teman mereka. Penempatan terintegrasi tidak sama dengan integrasi pengajaran dan integrasi sosial, karena ini sangat tergantung pada dukungan yang diberikan sekolah (dan dalam komunitas yang lebih luas).

Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial. Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.

Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan, seperti tuna netra, tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, maupun tuna laras. Secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah (selama memungkinkan) semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Sekolah inklusi dimulai dengan filosofi bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam sekolah dan kehidupan komunitas umum. Keanekaragaman antar anak dihargai, dan diyakini bahwa keanekaragaman menguatkan kelas dan menawarkan semua kesempatan yang lebih besar untuk pembelajaran anak.

Mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. Dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama.

Lawan kata inklusi adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Inklusi dan pendidikan inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengkuti program pendidikan, namun melihat para guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan individu.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Warta Sciena
Copyright © 2011. Warta Sciena - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Warta Sciena
Present by Rumah Pendidikan Sciena Madani