Idul Fitri, Momentum Restorasi Kefitrian

Rabu, 08 Agustus 2012

Oleh: Muhammad Syukron Nadhid
(Mahasiswa IKIP PGRI Semarang)

Alhamdulillah, Ramadhan 1432 H telah kita lalui, dan kita pun telah berlebaran. Bulan Ramadhan, dengan segenap romantisme yang dikandungnya, termasuk semua goresan prestasi ibadah shaum (puasa) kita, telah berlalu meninggalkan kita selama-lamanya. Setelah Ramadhan berlalu, kita berada di atmosfer Syawal 1432 H, dimana telah kita sambut dengan iringan takbir dan tahmid, membahana memecah angkasa, memuja dan memuji kebesaran Sang Maha Perkasa. Syawal menjelang, tak ada salahnya jika kita melakukan evaluasi dan introspeksi teologis, kultural dan relasi-relasi sosial antar sesama umat pasca Ramadhan.

Berulang-ulang ritme peristiwa religius ini telah melintas di tengah-tengah ruang atmosfer kehidupan kita. Namun sayangnya, tidak selamanya mampu kita sikapi secara religi dan hakiki. Idul Fitri sering kita asosiasikan dan sosialisasikan secara kerdil dan rigid. Karena kita lebih tertarik pada romantisme kultural, ketimbang romantisme kontekstual atau nuansa kontemplasi estetika nilai teologis Idul Fitri itu sendiri. Dengan kata lain, perspektif Idul Fitri cenderung kita pentaskan dalam format budaya keagamaan, bukan manifestasi atau proses internalisasi dari nilai-nilai agama itu sendiri. Akibatnya, Idul Fitri hanya tersemarakkan dalam bentuk ritus, tanpa disertai perhitungan tanggung jawab moral-teologis religius.

Barangkali terlalu “hina” nilai Idul Fitri, jika hanya kita presentasikan dalam format pakaian baru, ketupat lebaran, tukar menukar parsel, seta hingar-bingar hedonisme duniawi. Sebab, Idul Fitri lebih tinggi derajatnya dari segala bentuk gegap-gempitanya pesta hura-hura pasca Ramadhan. Kita sering salah kaprah dalam menyikapi kesucian Idul Fitri. Sehingga, secara hakiki, Idul Fitri bukanlah monopoli mereka yang berpakain baru, punya makanan serba lezat, bisa pulang ke kampung halaman tanah kelahiran dan lainnya, tetapi, Idul Fitri adalah milik hamba Allah SWT yang tingkat kepatuhan illahiahnya menyubur, mentalitas religiusnya membaik, perspektif dimensi khilafiyahnya bersifat makruf dan langit-langit ruhaninya penuh taburan nuansa taqwa, setelah sebulan penuh ditempa oleh kesucian Ramadhan. Sehingga Idul Fitri adalah kepunyaan mereka yang telah berhasil “lulus menjadi manusia” kembali. Anak manusia yang “terlahir kembali” dari rahim sejarah pengembaraan ruhaninya dalam mencari dan menemukan simpul- simpul kebenaran nilai-nilai sang Khaliq-nya, sehingga jatidiri dan etos kemakhlukan insaninya menjadi semakin paripurna.

Sungguh teramat panjang rentang sejarah realitas wacana keagamaan kita terperangkap dalam sangkaan-sangkaan kerdil dan kesalahpahaman tentang kesucian Idul Fitri. Mengapa ketika peta pemahaman agama semakin meluas, dan gairah keimanan semakin meningkat, tetapi Idul Fitri masih tetap kita aktualisasikan secara konservatif dan rigid bahkan jumud, sebagai kelegaan personal dan kegembiraan sosial sesaat dalam bentuk budaya konsumtivisme? Bukankah hal ini bermakna bahwa ajaran agama berupa puasa Ramadhan terkesan sebagai pengekangan atau keterpaksaan ritus, bukan kepatuhan religius yang dilandasi keimanan? Kemudian, ketika kekangan tersebut dilepaskan, maka kita pun tenggelam dalam euforia “balas dendam” nafsu-nafsu? Tidakah fenomena seperti ini sangat bertolak belakang dengan konteks nilai Ramadhan yang mengajarkan “nilai-nilai menahan” dalam berbagai aspek untuk diimplementasikan di luar bulan suci Ramadhan?

Sangat disayangkan, justru pada Idul Fitri, di beranda suci bulan Syawal, sering terjadi proses sublimasi nilai-nilai. Gerbang Syawal yang semestinya merupakan langkah awal dari proses restorasi jatidiri, untuk menapak ke hari esok yang lebih religi, tetapi sering kita kotori dengan sangkaan-sangkaan takhayul tentang ajaran agama, melalui perilaku kemubaziran yang sangat bersinggungan dengan kekufuran. Di pentas Idul Fitri, kita mempertontonkan kembali sepak terjang kita yang sebenarnya, wajah topeng kita sesungguhnya. Padahal, Idul Fitri menurut filosofi syariat agama adalah hari kemenangan. Kemenangan yang fitri (suci) melalui proses peragian dan pembasuhan kedekilan masa lalu dengan metode berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Tetapi, melalui sebuah perenungan jujur dan bening; berhakkah kita untuk memperoleh kemenangan tersebut, jika kualitas puasa Ramadhan kita baru pada tingkat elementer? Sementara kita masih belum sanggup melaksanakan puasa sosial, puasa politik, puasa untuk tidak menggunakan kesewenang-wenangan pedang kekuasaan, puasa agar tidak saling menindas, menghujat, memfitnah, mengadu-domba antar sesama?

Berabad-abad kehidupan telah berlangsung, namun panggung peradaban umat manusia tidak pernah terbebas dari pertarungan egosentrisme kemanusiaan, baik dalam format individu maupun kolektif. Persoalan kalah-menang, kuat-lemah, superior-inferior, menguasai-dikuasai telah menjadi target dari entitas peradaban manusia yang tak pernah terkoreksi oleh perjalanan sejarah peradaban manusia itu sendiri.

Kemenangan dalam peta pemahaman dan format budaya manusia adalah bagaimana menciptakan kekalahan terhadap pihak lain. Menang, satu kata yang bermakna membuat pihak lawan tidak berkutik sehingga bisa dikuasai dan dieksploitasi. Sementara kekalahan identik dengan kelemahan, tak berdaya dan melahirkan penderitaan. Kemenangan seperti ini adalah kemenangan semu, artifisial, temporer, sehingga bukanlah kemenangan yang hakiki dan kemenangan yang sejati yang diintroduksikan oleh nilai Idul Fitri.

Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas kekalahan orang lain. Kemenangan sejati adalah kemenangan menghadapi diri sendiri dalam menaklukkan ego dan nafsu keakuan yang berkobar-kobar. Bukankah sabda populer Rasulullah SAW mengatakan bahwa kemenangan agung itu hanya bisa diperoleh melalui peperangan sengit melawan nafsu sendiri? Peperangan tersebut telah kita laksanakan sebulan penuh melalui metode puasa Ramadhan. Hakikat puasa Ramadhan adalah upaya untuk memerdekakan diri dari segala kungkungan (jajahan) ego dan nafsu sendiri untuk memperoleh kembali kefitrian diri yang sejati. Karena kefitrian inilah yang dicari oleh jiwa manusia yang hakikatnya fitri.

Kemenangan sejati adalah kefitrian sejati hasil rekonstruksi dimensi eksistensi kehambaan atas Sang Pencipta melalui metode puasa Ramadhan. Kefitrian sejati merupakan perjalanan sunyi jiwa seorang hamba memasuki gerbang “perjalanan kembali”. Idul Fitri adalah telah tiba suatu masa “perjalanan kembali” dari kondisi tidak fitri ke suasana fitri kembali. Dari keadaan yang penuh coreng moreng menuju bersih kembali laksana bayi yang baru dilahirkan. Idul Fitri adalah momentum untuk menjaga kefitrian sejati agar tidak dicemari kembali oleh polutan-polutan hedonistik duniawi, sehingga jiwa yang fitri akan tetap suci sampai ke tempat pembaringan akhir nan abadi. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H. Mohon maaf lahir batin.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Warta Sciena
Copyright © 2011. Warta Sciena - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Warta Sciena
Present by Rumah Pendidikan Sciena Madani