Makna Tersurat Di Balik Kata Niat

Jumat, 03 Agustus 2012

Sungguh agama Islam merupakan ajaran yang hakiki, sehingga setiap pemeluknya diberikan suplemen berupa kapsul untuk dirinya supaya menjadi manusia agung dengan perilaku yang mencerminkan teladan nabi Muhammad SAW.

Salah satu ajarna tersebut adalah berupa kata, “Niat”. Kata yang simple namun memiliki kandungan nilai yang begitu dasyatnya. Rasulullah SAW bersabda:

إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله
Segalam amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memeperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. ”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau yang sekarang ini menjadi kota Madinah. Sabda beliau ini terkait sebuah informasi ada sekelompok orang yang ingin berhijrah karena ingin mengejar wanita atau mendapatkan wanita yang dinikahi yakni wanita tersebut adalah Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul Qais atau yang berhijrah karena Ummul Qais.

Niat dapat diartikan sebuah tindakan awal yang mampu mengetarkan hatinya untuk mencapai tujuan sesuai apa yang diharapkan. Misalnya, ketika ingin pergi ke pasar; tentu ada beberapa kemungkinan seperti belanja, jalan-jalan, refresing, mencari kenalan atau sekedar ingin menemui teman di pasar. Setidaknya ada beberapa kemungkinan. Hal inilah yang membedakan yakni berupa kata niat tersebut.

Dibalik kata niat sangat penting sekali karena setiap ilmu pengetahuan membahasnya. Baik itu dalam ilmu sains, fikih, syariat, ushul fiqh maupun akhlak. Bahkan didalam ilmu fiqih, niat menjadi landasan rukun pertama dalam rangkaian ibadah; seperti shlat, zakat, puasa maupun ibadah haji.

Di dalam ilmu ushul fiqh misalnya, kata niat menjadi faktor penentu status yang bisa menjadikan dirinya terikat dan menjalani konskwensi logis dalam menjalankannya. Misalnya persoalan nikah; ia bisa menjadi wajib, haram maupun sunnat. Semua itu tergantung kata niat tersebut.
Kata niat dalam ilmu pengetahuan, misalnya tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), bisa menjadi wajib ketika itu menjadi kebutuhan. Bahkan bisa berstatus haram jika hal tersebut sangat membahayakan.

Sedangkan niat dalam sudut padang akhlak menjadi cermin dalam melakukan hubungan amal manusia. Pengertiannya niat dalam sudut pandang ini bahwa niat menjadi penentu kualitas amal seseorang. Misalnya dalam melakukan ibadah shalat, dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sana, bacaan yang sama maupun ditempat yang sama. Dalam hal penilaian bisa menjadi berbeda, tentunya tergantung kata niat tersebut.
Ketika kita sudah memiliki niat, tentu tujuan tersebut jangan sampai tergoyahkan. Kualitas tertinggi dalam kata niat adalah ikhlas; semua bentuk kerja dilakukan karena mengharap ridha Allah. Sedangkan kualitas terendah dalam kata niat adalah sifat riya’ atau sombong yakni dalam melakukan sesuatu baik ibadah atau hal lainnya mengharapkan sesuatu selain ridha Allah.
Allah berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 31:
dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”.

Bahkan rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya ada sesuatu yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil."
Para sahabat bertanya : "Apakah syirik kecil itu?"
Beliau menjawab : "riya."
Niat merupakan senjata pamungkas dalam setiap langkah kehidupan kita, maka sebelum melakukan sesuatu kita harus mengoreksi atau muhasabah diri. Hal tersebut dilakukan supaya ketika kita berniat tidak timbul perbuatan “riya”. Niat itu layaknya pohon kelapa yang tinggi, ketika ia berniat untuk tegak, walau diterjang angin yang dasyat ia tetap berdiri kokoh.

Marilah menjadikan kata niat sebagai senjata pamungkas dalam meraih harapan dan cita-cita. Maka kata niat tersebut harus tersanubari dalam kekuatan ikhlas, karena bentuk penghambaan atas keimanan kita. Bahkan kita selalu berikrar dalam setiap shalat, ikrar tersebut termaktub dalam surat dibawah ini.

Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam: 162)                                          

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Warta Sciena
Copyright © 2011. Warta Sciena - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Warta Sciena
Present by Rumah Pendidikan Sciena Madani